BELAJAR DARI APA YANG SUDAH DILAKUKAN MAKA KITA AKAN SEMAKIN BERPENGALAMAN

BERAWAL DARI MIMPI BUKAN DARI ILUSI

tidak akan ada keberhasilan tanpa bekerja dan bekerja tanpa ilmu juga akan sia sia maka teruslah kejar mimpi agar hidup lebih bermakna tapi jangan berlari tak menentu agar tidak ada yang perlu di ulang lagi.

TERSENYUM UNTUK MENUTUPI KESEDIHAN

kuat itu bukan hanya masalah tenaga, kuat itu bukan hanya masalah siapa yang kita lawan, kuat itu adalah masalah selama apa kita mampu bertahan

PAHLAWAN AKAN TETAP ADA MESKI KITA TAK MENGHIRAUKAN MEREKA

kepedulian bukan masalah apa yang sudah kita berikan, kepedulian itu masalah hati yang terus terikat dan tak akan mampu manusia melepasnya

BERKARYA DAN BERGERAK IBARAT KAKI DENGAN TANGAN

apa yang dia tahu tentang bergerak jika dia tidak pernah berjalan dan berkeliling melihat rakyatnya yang sedang kelaparan

SAYA ADALAH SAYA

bukan dia bukan mereka juga bukan anda karena saya adalah saya

Tuesday 28 April 2015

Biografi Sastrawan Ayu Utami

https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-sastrawan-ayu-utami

Biografi Sastrawan Ayu Utami

Biografi Ayu Utami
Ayu Utami
Ayu Utami yang  nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.
Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995)  dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).  Ayu menggemari cerita petualangan,  seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.  Selain itu,  ia  menyukai  musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.
Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan  bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R.  Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif  menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator.  Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.
Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah  Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.
KARYA-KARYA Ayu Utami:
a. Novel Ayu Utami
    1. Saman  (1998)
    2.  Larung (2001)
    3. Bilangan Fu (2008)
    4. Manjali dan Cakrabirawa (2010)
b. Kumpulan Esai
   Si Parasit Lajang (2003)
c. Biografi
    1. Cerita Cinta Enrico (2012)
    2. Soegija: 100% Indonesia (2012)
Penghargaan
1. Pemenang  Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun
    1998 untuk novelnya Saman
2. Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di
    Den Haag, tahun 2000
3. Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fuhttps://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-sastrawan-ayu-utami

Biografi Djenar Maesa Ayu

https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-djenar-maesa-ayu

Biografi Djenar Maesa Ayu

Djenar  Maesa Ayu

Biografi Djenar Maesa Ayu
Djenar Maesa Ayu atau yang akrab disapa Nai adalah penulis yang berbakat. Nai yang lahir di Jakarta tanggal 14 Januari 1973 berasal dari keluarga seniman. Ayahnya, Syuman Djaya, adalah sutradara film dan ibunya, Tuti Kirana, adalah aktris terkenal  tahun 1970-an. Djenar memiliki dua orang anak, yaitu Banyu Bening dan Btari Maharani.
Nai memulai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan yang dijadikannya sebagai guru. Mereka itu adalah Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri.  Karya Nai banyak mendapat kritik dan pujian karena kontroversi. Namun, baginya, hal itu tidak memengaruhi kreativitasnya. Ia tetap menulis apa yang ingin diekspresikannya. Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen “Lintah” (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas.

Cerpen Djenar Maesa Ayu
Karyanya, terutama cerpen, tersebar di berbagai media massa Indonesia, seperti Kompas, The Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, Majalah Cosmopolitan, dan  Lampung Post. Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004). Buku itu telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003. Buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris.  Kumpulan cerpen  Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2004. Cerpennya “Waktu Nayla” mendapat predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, yang dibukukan bersama cerpen “Asmoro” dalam antologi cerpen pilihan Kompas.

Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh. ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.
Selain menulis, Djenar juga menggeluti bidang perfilman, yaitu sebagai pemain dan sutradara. Ia membintangi film Boneka dari Indiana (1990), Koper (2006), Anak-Anak Borobudur (2007), Cinta Setaman (2008), Dikejar Setan (2009), Melodi (2010), dan Purple Love (2011) dan  menjadi sutradara film Mereka Bilang, Saya Monyet,  SAIA (2009) serta sutradara TV  dalam acara “Fenomena” (TransTV, 2006) dan “Silat Lidah” (AnTV, 2007). Ia mendapat Piala Citra untuk Sutradara Terbaik dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!
KARYA Djenar Maesa Ayu:
a. Novel Djenar Maesa Ayu
 Nayla (2005)
b. Kumpulan Cerita Pendek Djenar Maesa Ayu
1. Mereka Bilang, Saya Monyet! (2002)
2. Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004)
3. Cerota Pendek tentang Cerita Pendek (2006)
4. 1 Perempuan dan 14 Laki-Laki (2011)
c. Sutradara/Penulis/Skenario
1. “Fenomena” (TransTV, 2006)
2. “Silat Lidah” (AnTV, 2007)
3. SAIA (2009)
4. Mereka Bilang, Saya Monyet
d. Film yang Dibintangi
1. Boneka dari Indiana (1990)
2. Koper (2006)
3. Anak-Anak Borobudur (2007)
4.  Cinta Setaman (2008)
5.  Dikejar Setan (2009)
6., Melodi (2010)
7.  Purple Love (2011)
Penghargaan
1.    Piala Citra untuk Sutradara Terbaik dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!
2.    Sepuluh besar buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003  untuk bukunya Mereka Bilang, Saya Monyet!
3.    Cerpen Tetrbaik Kompas 2003 untuk cerpennya “ Waktu Nayla”
4.     Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan untuk cerpennya “Menyusu Ayah”
5.    Lima besar buku terbaik  Khatulistiwa Literary Award 2004  untuk  kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)

Biografi Djenar Maesa Ayu

biografi Bre Redana

https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-bre-redana

biografi Bre Redana

Bre Redana
Siapa yang tak kenal Bre, anak ketiga dari empat bersaudara, berikut ini biografi bre redana termasuk orang yang enggan menyebutkan tanggal kelahirannya. Pernah secara terbuka, ia menuturkan latar belakang kehidupan keluarganya. “Ayah saya kader PKI di Salatiga” demikian pengakuannya. Ayahnya, Gondo Waluyo, seorang yang terpelajar, dijemput dan ditahan di tempat yang tidak diketahui ketika Bre berusia delapan tahun, masih duduk di bangku sekolah dasar. Sejak penjemputan paksa itu, ia tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya. Keluarganya kemudian menjadi bulan-bulanan teror masyarakat sekelilingnya. Bre pun tumbuh menjadi laki-laki pemalu dan cenderung minder.
Selanjutnya, kehidupan keluarganya sepenuhnya ditopang oleh ibunya, Yutinem. Berkat upaya ibunyalah, Bre dapat berkenalan dengan majalah Horison, Prisma, MIDI, dan sebagainya. Kegemarannya membaca mengantarkannya pada minat yang kuat untuk menulis, sebuah dunia karang-mengarang.
Pendidikan sekolah dasarnya di SD Kanisius (1970) dan SMP Negeri 2 (1973) diselesaikan di kota kelahirannya, Salatiga, Jawa Tengah. Kemudian, ia melanjutkan ke STM Kristen Klaten. Setelah tamat STM, Bre, berkuliah di jurusan Bahasa Inggris, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Waktu kuliah ia berkenalan dengan dunia jurnalistik dan ia aktif di pers mahasiswa Gita Mahasiswa. Ketika duduk di bangku kelas 2 STM, Bre Redana mulai mengirim tulisannya ke media massa cetak. Saat itu, medio 1975, ia mengirim karangan fiksi tentang cinta pertama ke majalah Detektif & Romantika. Sewaktu menjadi mahasiswa, ia rajin menulis untuk pers di kampusnya. Karangannya juga dikirim ke harian Kompas, tetapi tidak ada satu pun yang diterima. Namun, di Sinar Harapan dan Merdeka tulisannya banyak dimuat.
Namun, baru saja lulus sarjana muda dari Satya Wacana, tahun 1981, Bre Redana diterima sebagai wartawan di harian Kompas yang sebelumnya tidak pernah menerima satu pun tulisannya. Sebagai jurnalis pemula, Bre Redana ditempatkan di bagian yang menangani ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Selanjutnya ia pindah ke bagian kota, olahraga, dan luar negeri, sampai akhirnya bertugas di bagian yang mengelola kolom budaya.
Baginya, sangat menyenangkan menangani kolom budaya yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Sejak anak-anak Bre Redana memang sangat dekat dengan kesenian tradisi, seperti kethoprak, tarling, dan tayub. Ia pernah mengatakan, “Kalau saya menonton atau menulis hal itu lagi, saya seperti merasa kembali ke mata air saya lagi.”
Tahun 1990-1991 Bre Redana mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Tehnology, Inggris. Fokus tulisan Bre beralih ke masalah sosial di seputar kehidupan masyarakat Jakarta, seperti gosip artis, tren body shop, sampai toko mewah Mark and Spencer.
Tulisannya dikemas dalam laporan kerja jurnalistik yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan. Bre Redana melihat pekerjaan jurnalistiknya bukan sekadar sumber pendapatan, melainan juga merupakan panggilan. “Saya menghayati pekerjaan jurnalistik. Saya merasa ada dimensi yang sakral dari pekerjaan menulis ini.”
Ketika pada 1980-an rezim Suharto mengangkat isu ‘bersih lingkungan’, ia dinyatakan termasuk sebagai orang yang ‘tidak bersih’. Bre Redana pun terpukul.
Akan tetapi, ia tidak menjadi patah arang. Ia terus mencari strategi lain untuk tetap dapat menulis. Sebagai jurnalis, ia sangat menghayatinya. Di mana pun berada, ia berusaha masuk sedalam-dalamnya, tetapi tetap ada jarak. “Karena dengan berjarak, kita bisa tetap kritis,” ujarnya.
Ia menggemari pencak silat. Ia telah mendalaminya selama lebih dari lima belas tahun.
Membaca, termasuk membaca novel, sudah menjadi rutinitas harian. Setiap pagi ia jarang membaca koran. Biasanya Bre membaca buku yang agak serius. Ia sangat mengagumi Umber Echo, esais kelas dunia. Mungkin tulisan Bre terpengaruh oleh ide esais itu. “Echo sebagai seorang pemikir bisa menghasilkan esai yang mampu menjelaskan problem yang ada di masyarakat dengan sangat bagus dan disampaikan dengan sangat ringan,” tuturnya.
Cita-citanya yang masih belum tercapai adalah menghasilkan sebuah karangan dari genre yang lain. “Saya ingin menulis novel,” katanya tentang keinginan yang hendak ia capai.
Ia merindukan mempunyai waktu khusus. Pekerjaan jurnalistik sangat sibuk. Sehingga, menurut Bre, membuat kreativitasnya mandek. Kompas akan menjadi tempat perhentian akhir karier Bre Redana. Ia tidak mempunyai keinginan untuk bertualang kerja di tempat lain. “Setelah di Kompas saya nggak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis,” menurutnya.
Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa (2002)

Biografi Agus R. Sarjono

https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-agus-r-sarjono

Biografi Agus R. Sarjono

Agus R. Sarjono

Biografi Agus R. Sarjono.

 Agus R. Sarjono dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais. Ia lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Agus R. Sarjono bersama istri dan dua anaknya kini tinggal di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Pendidikan formalnya diselesaikan di IKIP Bandung (S1) pada studi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; dan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UI untuk S-2-nya.Semasa mahasiswa ia aktif di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sebagai ketua (1987-1989).
Agus adalah salah seorang Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006. Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pengajar di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung serta menjadi redaktur majalah Sastra Horison.
Selain menjadi editor sejumlah buku antara lain: Saini KMPuisi dan Beberapa Masalahnya (1993);Catatan Seni (1996); Kapita Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-Budaya Kita (1999); Dari Fansuri ke Handayani (2001); Horison Sastra Indonesia (2002); Horison Esai (2003); Malam Sutera: Sitor Situmorang (2004); Teater Tanpa Masa Silam: Arifin C. Noer (2005); Poetry and Sincerity(2006), Agus R. Sarjono juga menulis beberapa cerita pendek.
Agus R. Sarjono kerap menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya dimuat berbagai koran, majalah, dan jurnal terkemuka di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Puisinya telah banyak dikaji oleh peneliti dalam dan luar negeri. Dr. Heike Gäßler, teaterawan dan sinolog di Berlin adalah salah satu pengkaji puisi Agus R. Sarjono. Ia berpendapat tentang kumpulan puisi Tulang Segar dari Banyuwangi (Frische Knochen aus Banyuwangi). “Agus R. Sarjono tidak saja menciptakan gambar/imaji, tetapi juga membangunkan elemen dan figur dalam puisinya agar hidup. Ia membuatnya berkomunikasi seperti dalam suatu drama. Hal tersebut mengingatkan saya akan kebiasaan animistis. Selain mengikuti bengkel kerja puisi, seperti Asean Writers Conference/Workshop (Poetry) di Manila (1994); Agus juga pernah menjadi tutor/pendamping penyair Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastera Asia Tenggara di Jakarta (1997).
Agus pernah diundang membacakan sajaknya di beberapa festival internasional, seperti Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta (1995), Festival Seni Ipoh III di negeri Perak, Malaysia (1998); Malam Puisi Indonesia-Belanda di Erasmus Huis (1998); Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999; 2003), Malam Indonesia, Paris (1999); Festival Internasional Poetry on the Road, Bremen (2001), Internasionales Literaturfestival, Berlin (2001), dan Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung (2002).
Ia kerap diundang pula menjadi pemakalah di berbagai kegiatan sastra, antara lain “Mimbar Penyair Abad 21" di TIM (1996); “Pertemuan Sastrawan Nusantara IX/Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997" di Sumatera Barat; “Pertemuan Sastrawan Nusantara X/Pertemuan Sastrawan Malaysia I” di Johor Bahru
Sejak Februari hingga Oktober 2001, Agus tinggal di Leiden, Belanda sebagai writer in residence atas undangan Poets of All Nations serta peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden.
Ia juga pernah diundang sebagai penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich, Jerman, sejak Desember 2002 hingga Maret 2003. Dalam masa itu ia diundang berdiskusi dan membacakan puisinya di berbagai universitas terkemuka dan pusat kesenian di Jerman. Sejak enam tahun yang lalu, ia merupakan salah seorang instruktur sastra bagi para guru se-Indonesia. Kesibukannya yang lain adalah sebagai anggota Majelis Sastra Asia Tenggara yang disponsori oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Salah satu karyanya pernah dimuat dalam cerpen pilihan Kompas 2003. Karya esainya diterbitkan dalam buku, antara lain Bahasa dan Bonafiditas Hatu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Karya dramanya, terbit dalam buku Atas Nama Cinta (2004). Puisinya terbit dalam berbagai antologi di Indonesia, bahkan di Manila (Filipina), Seoul (Korea Selatan), serta Bremen dan Berlin (Jerman). Selain itu, karyanya diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Serbia, Arab, Korea, dan China.
Bersama Berthold Damshauser, ia menjadi editor seri puisi Jerman dan menerjemahkan beberapa puisi, antara lain, Zaman Buruk bagi Puisi, Berthold Brecht (2004); Candu dan Ingatan, Paul Celan (2005); Satu dan Segalanya, Johann Wolfgang von Goethe (2007).


KARYA:
 Puisi
1. Kenduri Air Mata (1994; 1996)
2. A Story from the Land of the Wind (1999, 2001)
3. Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001; 2003)
4. Frische Knöckhen aus Banyuwangi (dalam bahasa Jerman, 2002)
5. Diterbangkan Kata-Kata (antologi puisi, 2006)
6. Kepada Urania (terjemahan karya Joseph Brodsky, 1998)
7. Impian Kecemburuan (terjemahan karya Seamus Heaney, 1998)

Biografi Achdiat Karta Miharja

https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-achdiat-karta-miharja

Biografi Achdiat Karta Miharja

Achdiat Karta Miharja
Biografi Achdiat Karta Miharja
Achdiat Karta Miharja lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, tanggal 6 Maret 1911. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga menak yang feodal. Ayahnya bernama Kosasih Kartamiharja, seorang pejabat pangreh praja di Jawa Barat. Achdiat rnenikah dengan Suprapti pada bulan Juli 1938. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai lima orang anak.
Ia memulai sekolah dasarnya di HIS (sekolah Belanda) Bandung dan tamat tahun 1925. Ia masuk ke AMS (sekolah Belanda setara SMA), Bagian Sastra dan Kebudayaan Timur, di Solo tahun 1932. Lalu, ia melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta. Ketika kuliah, ia pernah diajar oleh Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J., dosen filsafat, tahun 1956 dalam rangka Colombo Plan. Achdiat mendapat kesempatan belajar bahasa dan sastra Inggris serta karang-mengarang di Australia.

Pendidikan Achdiat Karta Miharja
Setelah tamat dari AMS, Achdiat sempat mengajar di Perguruan Nasional, Taman Siswa, tetapi tidak lama. Tahun 1934 Ia bekerja menjadi anggota redaksi Bintang Timur dan redaktur mingguanPaninjauan. Tahun 1941 Ia menjadi redaktur Balai Pustaka. Pada zaman pendudukan Jepang, Achdiat menjadi penerjemah di bagian siaran, radio Jakarta. Tahun 1946 ia memimpin mingguan Gelombang Zaman dan Kemajuan Rakyat yang terbit di Garut sekaligus menjadi anggota bagian penerangan penyelidik Divisi Siliwangi. Tahun 1948 Ia kembali bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Tahun 1949 Ia menjadi redaktur kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga Baru di samping sebagai pembantu kebudayaan harian Indonesia Raya dan Konfrontasi. Pada tahun 1951--1961, Ia dipercayai memegang jabatan Kepala Bagian Naskah dan majalah Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian PPK.

Karir Achdiat Karta Miharja
Pada tahun 1951 Achdiat juga menjadi Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) dan anggota pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Pada tahun itu juga, ia bertugas menjadi Ketua Seksi Kesusastraan Badan Penasihat Siaran Radio Republik Indonesia (BPSR) dan menjadi Ketua Pen-Club Internasional Sentrum Indonesia. Tahun 1954 Achdiat menjabat ketua bagian naskah/majalah baru. Tahun 1959 ia menjadi anggota juri Hadiah Berkala BMKN untuk kesusastraan. Tahun 1959--1961 Achdiat menjadi dosen Sastra Indonesia Modern di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Pada tahun 1961—1969 ia mendapat kesempatan untuk menjadi Lektor Kepala (senior lecturer) di Australian National University (ANU), Canberra.
Achdiat tertarik pada sastra berawal dari rumahnya sendiri ketika ia masih kecil, masih di SD. Ayahnya adalah seorang penggemar sastra, terutama sastra dunia. Ayahnya sering menceritakan kembali karya yang telah dibacanya kepada Achdiat. Lama-kelamaan, Achdiat kecil pun menjadi gemar juga membaca buku koleksi ayahnya itu. Ia pun ikut membaca semua buku sastra milik ayahnya.  Dari koleksi ayahnya, ia telah membaca, antara lain, buku karangan Dostojweski, Dumas, dan Multatuli. Buku Quo Vadis karya H. Sinckiwicq, Alleen op de Wereld karya Hector Malot danGenoveva karya C. von Schimdt, bahkan telah dibacanya ketika ia kelas VI SD.
Hasilnya adalah tulisan Achdiat, baik  yang berupa karya sastra maupun esai tentang sastra atau kebudayaan. Novelnya yang berjudul Atheis adalah novel yang membawa namanya di deretan pengarang novel terkemuka di Indonesia. Banyak pakar sastra yang membicarakan novelnya itu, antara lain, Ajip Rosidi, Boen S. Oemarjati, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.
KARYA Achdiat Karta Miharja:
a. Cerita Pendek Achdiat Karta Miharja
1. Kesan dan Kenangan (kump. cerpen) (Jakarta: Balai Pustaka, 1960)
2.. Keretakan dan Ketegangan (kump. cerpen) (Jakarta: Balai Pustaka, 1956)
3. Belitan Nasib (kump. cerpen) ( Singapura: Pustaka Nasional. 1975)
4. Pembunuh dan Anjing Hitam (kump. cerpen) (Jakarta: Balai Pustaka)
5.  “Pak Sarkam” ( Poedjangga Baroe, No.5, Th. 13, 1951)
6.  “Buku Tuan X” (Poedjangga Baroe. No.7,8, Th. 4, 1953)
7.  “Salim, Norma, Sophie” (Prosa, No,2, Th. 1, 1953)
8.  “Sutedjo dan Rukmini” (Indonesia, No. 8,9, Th. 4, 1953)
9.  “Bekas Wartawan Sudirun” (Indonesia, Th. 4, 1953)
10.  “Si Ayah Menyusul” (Konfrontasi, No. 18, 1957)
11. “Si Pemabok” (Varia, No. 104, Th. 3. 1960)
12. “Latihan Melukis” (Budaya Jaya, No. 47, Th. 5. 1972)
b. Puisi Achdiat Karta Miharja
1.  “Pemuda Indonesia” (Gelombang Zaman, 2.1, 45).
2.  “Bagai Melati” (Gelombang Zaman, 7.1, 46)
3.  “Bunga Bangsa” (Gelombang Zaman, 13.1 46)
4.  “O, Pudjangga”   (Gelombang Zaman, 35.1, 46)
c. Novel Achdiat Karta Miharja
1.  Atheis (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
2.  Debu Cinta Bertebaran (Malaysia: Pena Mas, 1973)
d. Drama
1.  "Bentrokan dalam Asmara" (Jakarta: Balai Pustaka, 1952)
2. " Pak Dulah in Extremis” (Indonesia. No. 5, Th. 10. 1959)
3.  “Keluarga R. Sastro” (drama satu babak) (Indonesia. No. 8. Th.5. 1959)
e. Esai
1. Polemik Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1948)
2. “Ada Sifat Tuhan dalam Diri Kita" (Pikiran Rakyat, 28 Juni 1991)
3. “Pengaruh Kebudayaan Feodal” (Sikap, Th. Ke-1, 13/X, 1948)
4. “Bercakap-cakap dengan Jef Last” (Kebudayaan, 10 Agustus 1950)
Biografi Achdiat Karta Miharja

Biografi Acep Zam Zam Noor

https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/home/biografi-acep-zam-zam-noor


Biografi Acep Zam Zam Noor

Acep Zam Zam Noor
Acep Zam Zam Noor adalah sastrawan yang lahir tanggal 28 Februari 1960. betikut ini biografi singkat Acep Zam Zam Noor kecil sampai remaja menghabiskan waktunya di pondok pesantren. Kepenyairannya lahir di Cipasung, tepatnya di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Karena dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren,  nuansa keislaman dalam karyanya sangat terasa. "Cipasung" adalah sebuah puisi yang ditulisnya. Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai dengan nuansa islami yang kental. Selain nuansa keislaman, nuansa Jawa Barat juga sangat terasa. Beberapa puisinya  ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok Pesantren Cipasung pula, Acep mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan, yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra, khususnya, dan kesenian serta kebudayaan, pada umumnya.  Meskipun ayah Acep Zam Zam Noor seorang ulama Nahdlatul Ulama yang terkenal di Pondok Pesantren Cipasung,  Acep tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya. 
Ketika duduk di bangku SMP, bakat menulis Acep kian tampak. Pada awalnya, dia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, ia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Puisi pertama yang ditulis kemudian dimuat dalam media massa yang terbit di Bandung dan Jakarta. Bakat menulisnya terus berkembang. Setelah menamatkan bangku SMA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta, Acep melanjutkan sekolah di Bandung. Acep yang mengenyam kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB kian bersemangat untuk menulis.  Acep tidak hanya menulis puisi, tetapi juga melukis dan ikut aktif terlibat dalam klub diskusi kesenian. Setelah menamatkan kuliah di Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (1980—1987), Acep tetap berkesenian. Tahun 1991—1993, Acep mendapat bea siswa dari pemerintah Italia untuk belajar di Universitas Stranieri, Perugia, Italia. Antara melukis dan menulis puisi bagi Acep merupakan satu kesatuan dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Di sela-sela kesibukan menulis puisi dan mengikuti pameran di beberapa tempat, Acep juga sibuk membimbing penulis muda untuk terus menulis di sanggarnya di Cipasung, Tasikmalaya.
Kegiatan lainnya, selain menulis puisi dan mengikuti beberapa pameran, Acep juga  menjadi pendamping delegasi Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Jakarta tahun 1977. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Teater Utan Kayu, Jakarta, dan mengikuti  acara Southeast Asian Writers Meet di Kulala Lumpur tahun 2002,  mengikuti Festival Puisi Internasional di Makassar, dan mengikuti kegiatan di Den Haag, Belanda, tahun 2004.
.
KARYA 
Karya Acep Zam Zam Noor:
1. Tamparlah Muka (1982)
2. Aku Kini Doa (1986)
3. Kasidah Sunyi (1989)
4. Dayeuh Matapoe (puisi Sunda, 1993)
5. Dari Kota Hujan (1996)
6. Di Luar Kota (1996)
7. Di Atas Umbria (1999)
8. Dongeng dari Negeri Sembako (2001)
9. Jalan Menuju Rumahku (2004)
Selain kumpulan puisi yang telah diterbitkan, karya puisi Acep juga ada yang pernah dimuat dalam majalah sastra dan jurnal, seperti majalah Horison, Kalam, Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi,  Dewan Sastra Jurnal Puisi Melayu (Malaysia), dan Perisa. Beberapa karya puisinya juga telah dimuat dalam beberapa antologi, seperti:
1. Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987)
2. Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994)
3. Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995)
4. Takbir Para Penyair (Festival Istiqal, 1995)
5. Negeri Bayang-Bayang (Festival Surabaya, 1996)
6. Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996)
7. Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Kalam, 1998)
8. Angkatan 2000 (Gramedia, 2001)
9. Dari Fansuri ke Handayani (Horison, 2001)
10. Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002)
11. Napas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004)
Selain karya puisi yang ditulisnya bertema religius dan sosial, Acep Zam Zam Noor juga menulis puisi cinta yang romantis. Antologi puisinya yang berjudul Menjadi Penyair Lagi (Penerbit Pustala Azan, 2007) mewakili tren “puisi romantis”. Antologi ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 berisis puisi lama (1978—1989) yang menurut  Acep “sempat tercecer dan terlupakan” selama ini. Sebagian lagi berisi puisi barunya (1990—2006). Puisinya juga  telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), In Words in Colour (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), serta diterjemahkan oleh Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1996—1998 (Ohio University Press, 2001) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda serta dimuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004). Puisi yang berbahasa  Sunda juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ayip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan dalam bahasa Prancis oleh Ayip Rosidi dan Henry Chambert Loir untuk Poemes Soundanais: Antologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).
Di samping menulis puisi, Acep Zam Zam Noor sampai sekarang masih aktif dalam pameran lukisan, baik di dalam maupun luar negeri, seperti di Singapura, Filipina, Belanda, dan Malaysia.
Penghargaan
1.  Hadiah Sastra Lembaga Bahasa Jeung Sunda untuk puisi Sunda pada tahun 1991 dan 1993
2. Nomine hadiah Rancange untuk Dayeuh Matapoe tahun 1994
3.  Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, untuk karya Di Luar Kata tahun 2001
4.  Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu 
5. Penghargaan  The Sea Write Awards tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu

Biografi Tokoh Abdul Muis


https://sites.google.com/site/sastrawanindonesia/biografi-tokoh-abdul-muis

Biografi Tokoh Abdul Muis

Belum kenal Abbdul Muis, ini dia biografi Abdul Muis
Abdul Muis
Abdul Muis lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak masih remaja, ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Puiau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan.
Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan 2 orang istri dan 13 orang anak.
Abdul Muis lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900--1902). Namun, karena sakit, ia  keluar dan sekolah kedokteran tersebut. Pada tahun 1917 ia  pergi ke negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.
Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda. Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia, menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang prihumi yang diangkat sebagai kierk.  Abdul Muis merupakan orang indonesia pertama yang dapat menjadi kierk.
Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tidak disukai oleh pegawai Belanda lainnya. Hal itu  membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar dan departemen itu setelah bekerja  selama Iebih kurang dua setengah tahun (1903-- 1905).
Sekeluarnya dan Department van Onderwzjs en Eredienst sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik. Bidang pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada tahun 1905 ia juga  diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lima tahun, sebelum ia diberhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912. Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagal korektor, Ddalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadihoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa Belandanya yang baik.
Pada tahun 1913 Abdul Muis keluar dan De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuk  ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu, atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran seratus tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Pada zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.
Pada tahun 1918, sekembalinya dan negeri Belanda, Abdul Muis  pindah bekerja ke harian Neracakarena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918  Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).
Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti sampal di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, Abdul Muis terus berjuang menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia  memimpin sebuah gerakan memprotes aturanlandrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Protes tersebut berhasil. Landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.
Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926--1939) Ia tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa.
Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.
Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Pada tahun 1926  Serikat Islam imencalonkannya  (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun,  pada zaman pascaprokiamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah Ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama  A.M., ia menulis hanyak hal. Salah satu di antananya adalah roman sejarahnya,  Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’ di harian Kaum Muda.
Sebagai sastrawan, Abdul Muis kurang produktif. Ia menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan.  Namun, dari karyanya yang sedikit itu, Abdul Muis tercatat indah dalam sejarah sastra Indonesia. Karya besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhanmenampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.
KARYA Abdul Muis:
1. Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
2. Sebatang Kara (terjemahan karya Hector Malot, Prancis), Cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
3.  Hikavat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
4. Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
5. Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
6. Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
7. Hikayat MordechaiPemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
8. Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
9. Pertemuan Djodoh (Cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
10. Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
11. Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
12. Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (terjemahan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
13. Don Kisot (terjemahan karya Cervantes, Spanyol)
14. Pangeran Kornel (terjemahan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
15. Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.

boigrafi agus salim

https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-pahlawan-haji-agus-salim/

Biografi Pahlawan Haji Agus Salim

Haji Agus Salim
Haji Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat, dengan nama Musyudul Haq yang berarti ‘pembela kebenaran’. Ayahnya yang seorang jaksa di pengadilan Riau memungkinkan Haji Agus Salim untuk belajar di sekolah dasar Belanda  ELS (Europeese Lager School). Lulus pada 1897, dia bertolak ke Batavia untuk masuk ke Hogere Burger School (HBS), sekolah lanjutan yang sebenarnya hanya untuk orang-orang Eropa. Pada masa itu,sangat jarang melihat anak pribumi masuk ke sekolah Eropa. Ia lulus dari HBS dengan nilai paling tinggi di tingkat nasional, mengalahkan orang-orang Belanda saat berusia 19 tahun.
Beliau pun berniat melanjutkan ke sekolah dokter di Belanda. Namun, permohonan beasiswanya tidak diluluskan pemerintah Belanda, sementara keluarga beliau tidak memiliki uang. Baru setelah R.A. Kartini yang mendengar berita mengenai Haji Agus Salim memberi rekomendasi, pemerintah Belanda pun memberi beasiswa. Terlanjur meras tersinggung,
Haji Agus Salim pun menolaknya. Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam dan mempelajari diplomasi. Beliau juga belajar beragam bahasa, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang.
Pulang ke Indonesia, pada tahun 1915, Haji Agus Salim masuk ke dalam Serikat Islam (SI) pada masa kepemimpinan H.O.S. Cokroaminoto . Dalam waktu singkat, mereka menjadi kawan baik dan bekerja sama demi masa depan Indonesia. Haji Agus Salim lantas dipercaya menggantikan Cokroaminoto di Volksraad pada 1922-1925. Di sini, beliau tak jarang bicara terbuka, keras, dan menantang. Seiring bergesernya gaya perjuangan SI ke arah non kooperatif, Agus Salim mundur dari Volksraad . Ia kemudian aktif di JIB (Jong Islamieten Bond) dan bekerja sebagai jurnalis.
Agus Salim kemudian menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Bersama Djajadiningrat dan Soepomo, ia juga menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945. Haji Agus Salim merupakan tokoh pemberani yang pandai berargumentasi dengan cerdas sehinggaSukarno pun memberinya julukan The Grand Old Man. Setelah kemerdekaan, Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri pada beberapa kabinet.
  • Tempat/TgI. Lahir: Kota Gadang, 8 Oktober 1884
  • Tempat/Tgl. Wafat: jakarta, 4 November 1954
  • SK Presiden: Keppres No. 657/Tahun 1961, Tgl. 27 Desember 1961
  • Gelar: Pahlawan Nasional
Haji Agus Salim wafat dalam kesederhanaan pada 4 November 1954. Haji Agus Salim adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

biografi buya hamka

bigrafi buya hamka

http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/14/02/01/n09sjk-dialog-buya-hamka-dengan-penghuni-gaib-rumahnya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bercerita hal mistis dalam buku terbarunya, "Selalu Ada Pilihan". Tulisan hal mistis ini memunculkan kehebohan karena media asing membicarakan kepercayaan seorang Presiden akan hal-hal yang berbau klenik.

Sebenarnya bukan hanya Presiden SBY yang pernah mengalami peristiwa mistis. Cerita serupa pun pernah dialami oleh almarhum Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Cerita mistis yang dialami oleh Buya HAMKA ini diceritakan kembali oleh Irfan Hamka melalui novel yang berjudul: "Ayah...Kisah Buya Hamka". 

Kisah ini tertulis dalam novel, halaman 59 s/d 78, Bab Tiga, "Ayah Berdamai dengan Jin". Dituliskan, pada 1956, Buya Hamka dan seluruh keluarganya tinggal di rumah baru, tepatnya di Jalan Raden Fatah III, Kebayoran Baru, Jakarta. 

Di rumah baru itu, Buya Hamka sekeluarga sempat mengalami gangguan dari mahluk ghoib. Singkat cerita, karena sering mengalami gangguan oleh mahluk ghoib, akhirnya Buya Hamka mengajak seluruh keluarganya sholat sunnah dua rakaat, berdo'a kepada Allah SWT dan berdialog dengan mahluk ghoib itu.

"Besok malam kita coba menghubungi pemilik bunyi sesuatu itu," ujar Buya Hamka kepada keluarganya. 

Lalu pukul 23.00 malam, Buya Hamka mengajak anak-anaknya sudah bersiap. "Ayah mengajak abang-abangku untuk mengerjakan shalat sunah dua rakat. Setelah itu, terdengar ayah berdzikir, diikuti oleh semua yang hadir. Setelah berdzikir, terlihat mulut Ayah terus komat-kamit," tulis Irfan Hamka dalam novelnya, halaman 67.

Menjelang pukul 12 malam, lanjut Irfan Hamka, tiba-tiba terdengr suara cecak berbunyi bersahut-sahutan. Terdengarnya dari seluruh sudut rumah. 

Di kejauhan, dari arah depan rumah, terdengar suara ketukan seperti suara benda keras beradu dengan batu kerikil yang terdapat di sekeliling rumah. Mula-mula suaranya lemah, berangsur-angsur suara itu tambah nyaring, tutur Irfan Hamka.  

"Assalammu'alaikum, ya Abdillah, kami sengaja menunggu kehadiran Saudara untuk berkenalan. Bisa saudara mendengarnya? Bila bisa, tolong beri tanda tiga kali ketukan!," seru Buya Hamka dengan suara yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu pelan.

Baru saja Ayah selesai bicara, terdengar tiga kali ketukan. "Tok-Tok-Tok," terdengar suara ghaib yang tak berbentuk namun terdengar seperti ketukan tongkat itu.

"Saya bangun rumah ini dengan susah payah dari hasil kerja keras dan keringat. Tidak mungkin saya tinggalkan rumah ini hanya karena sering saudara ganggu dan takut-takuti keluarga saya. Kalau memang itu maksud Saudara, coba beri tanda lagi dengan suara ketukan satu kali, kalau bukan, beri tanda dua kali ketukan," tutur Buya Hamka melanjutkan permintaannya.

Setelah agak lama tidak ada jawaban, suasana rumah pun semakin hening menunggu jawaban dari "suara gaib" itu. "Kalau ingin menakuti keluarga saya, saya sanggup mengusir saudara dari rumah saya," kata Buya Hamka dalam tulisan Irfan Hamka.

"Tok, Tok," terdengar "suara ghaib" berupa ketukan dua kali. sebagai jawabannya.

"Saya tidak mau melupakan kehendak Allah, karena kami sekeluarga beriman kepada Allah. Apa saudara beriman juga kepada Allah? Beri jawaban dengan ketukan satu kali," ujar Buya HAMKA melanjutkan permintaannya.

"Tok," terdengar suara ketukan satu kali. 

"Senang Saudara tinggal di rumah ini? Kalau tidak, tidak usah dijawab. Kalau senang, ketuk satu kali," lanjut Buya HAMKA.

"Tok," suara ghaib itu terdengar kembali.

"Mari kita diami rumah ini bersama-sama, saling menghormati. Saya telah serahkan keamanan rumah dan keluarga saya kepada Allah semata-mata. Tolong diamati dan diperhatikan. Setuju?," tutur Buya HAMKA lagi. 

Setelah itu, terdengar kembali ketukan tiga kali, "Tok, Tok, Tok," tulis Irfan Hamka. Kemudian, Buya HAMKA pun mengajak seluruh keluarganya untuk berdoka kepada Allah SWT